Skip to main content

Tempelan Kertas Impian di Tembok Lemariku (Cerpen)


Tempelan Kertas Impian di Tembok Lemariku
Oleh : Dedi Irawan
Bayang itu terlintas seketika. Aku terus mengingat tentang seseorang yang selalu menyadarkanku akan sebuah kata “lillah”. Karena Allah hati ini selalu bergejolak bahwa ia menginginkan rasa untuk selalu ada. Menginginkannya untuk selalu saling mengingatkan walau dalam sepercik do’a. Ini bukanlah sajak kata untuk kekasih yang selalu orang-orang pikirkan bahwa mereka harus bergandengan tangan, berduaan ataupun semacamnya. Tapi ini sajak kata untuk ia yang selalu ada dalam setiap bait harapan dan impianku. Ia yang membawaku kedalam mimpi dan keinginan untuk meraih dunia dan akherat. Ia yang telah membawaku kedunia ini dan merawatku sepenuh hati.
Aku menulis kata itu dalam selembar kertas lalu menempelkanya dipintu lemariku. Sajak kata yang belum bisa kubuktikan dalam kehidupan ini. Hanya kata-kata semu yang terbentuk lewat semilir rindu. Tapi aku percaya akan apa yang aku tulis bahwa Allah pasti akan mengabulkannya dan itu sudah menjadi rutinitasku ketika aku menginginkan sesuatu. Itu adalah kata kasih yang selalu mengharapkan ridho-Nya. Kata kasih yang tak pernah mengenal tentang arti pacaran tapi hanya mengenal tentang arti dari mendo’akan dalam sebuah perjuangan tangguh untuk membahagiakan semua orang tersayang terutama kedua orangtua yang selalu ada dalam kisah tangis dan tawa. Namaku Neng Salamah, biasa dipanggil Neng ataupun Amah. Lahir di Surakarta 06 Juli 2000. Aku sekarang hidup disebuah pesantren di Yogyakarta. Selalu bersyukur bahwa Allah telah memberikan kesempatan kepadaku untuk bisa melanjutkan menuntut ilmu setelah waktu itu aku memutuskan untuk berhenti sekolah karena keluargaku.
Terlahir dikeluarga tidak mampu membuatku harus terus berusaha untuk memperjuangkan mimpiku. Rumah tempat teduh kami berada di Desa pelosok Kota Surakarta. Bapakku bekerja sebagai pekebun dan Ibuku hanyalah ibu rumah tangga biasa walaupun terkadang ia menjual gorengan untuk menambah penghasilan keluarga yang jauh dari kata cukup. Untuk sekolah SD sampai SMP aku dapat beasiswa dari sekolah sampai waktu itu saat aku ingin melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi aku tak bisa membeli kebutuhan pokok sekolah seperti seragama dan buku tulis. Pernah pada suatu hari Ibu meminta uang kepada Bapak untuk membeli korek api karena pada saat itu untuk memasak keluargaku masih menggunakan bata dan kayu bakar. Aku benar-benar ingat kejadian itu dimana keluargaku tidak memiliki uang sepeserpun. Waktu itu aku melihat Ibu menangis, melihat isak tangis ibu juga membuatku ikut menangis. Betapa terpuruk keluargaku waktu itu, korek dengan harga tidak sampai dengan seribu rupiah saja kami tidak mampu membeli.
Ibu sempat meminta sama bapak namun bapak hanya terdiam, tertunduk. Mengisyaratkan bahwa ia tak memiliki uang untuk keperluan keluarga saat itu. Melihat Ibu masih menangis akupun memeluk Ibu dengan erat dan berkata,          
“Ibu, Neng ndak papa kok. Perut Neng masih kenyang” Ucapku berbohong.
Ibu tersenyum lalu berkata “Neng, belajarnya yang rajin, jangan minder ketika lihat orang yang lebih beruntung daripada kita. Jadilah orang sukses dan berguna bagi orang lain. Jangan seperti Ibu dan Bapak yang mau merebus singkong saja ndak bisa”
Aku terdiam, betapa rapuhnya hatiku mendengar kata-kata Ibu. Seseorang yang dengan kasih sayangnya membesarkanku hingga aku mulai beranjak dewasa. Seseorang yang mengajarkanku arti dari kata mensyukuri dan selalu bekerja keras tak kenal lelah dalam mencukupi segala kebutuhanku. Ia yang tetap tersenyum padaku ketika musibah menimpa kami seraya berkata "Yakin terhadap Allah bahwa ini adalah cobaan yang ia berikan untuk menguji hambanya" 
Pada akhirnya aku membawa daun kelapa yang sudah kering dan meminta api kepada tetangga. Aku merenung, masih dalam tangisku. Betapa tidak, melihat kedua orang yang kusayangi begitu sulit memperjuangkan hidup dan masa depanku. Untuk makan saja aku harus susah payah begini apalagi nanti kalau aku akan melanjutkan sekolahku?
Aku memutuskan untuk tidak sekolah dan membantu Ibu dan Bapak di rumah. Sempat Ibu berkata padaku pada suatu sore.
“Neng bener-bener ndak apa-apa tidak sekolah?” Tanya Ibu terlihat khawatir.
“Ndak papa buk, nanti kalau Ibu atau Bapak ada rezeki Neng mungkin bisa sekolah lagi” balasku seraya tersenyum. Ibu kembali memelukku, terasa getaran dan kehangatan terasa. Ibu menangis lagi dan aku juga tak kuasa menahan air mataku untuk jatuh. Tapi aku tidak boleh berprasangka buruk terhadap Allah bahwa aku adalah manusia yang terpuruk, tapi aku harus selalu percaya pada Allah bahwa ini adalah cobaan yang sedang ia berikan kepadaku dan itulah yang selalu diajarkan oleh kedua orangtuaku.
“Maafkan Ibu Neng, gara-gara Ibu kamu tidak bisa menggapai cita-citamu. Gara-gara Ibu kamu tidak bisa menuntut ilmu kejenjang SMA. Ibu minta maaf Neng, minta maaf”
Betapa terpukulnya hatiku mendengar kata-kata Ibu. Ibu sangat menyayangiku, sering tersenyum ketika mendengar cita-citaku yang terlalu tinggi. Sering tersenyum ketika aku bercerita bahwa kalau sudah sukses nanti aku akan mengantarkan Ibu dan Bapak ketanah suci. Sering tersenyum ketika aku merengek karena Ibu tak mendengar ceritaku. Namun sekarang, aku dalam pelukkanya mengisakkan tangis.
“Ibu, Neng belum menyerah buk, walaupun Neng belum bisa lanjut sekolah namun Neng pasti akan jadi orang sukses. Bagaimanapun caranya yang penting halal menurut agama dan Allah meridhoi, Neng janji akan menjadi orang sukses dan membahagiakan kalian berdua. Neng janji.
***
Beberapa bulan setelah aku tidak sekolah, Ibu guru yang menjadi wali kelasku saat SMP menghampiri rumahku dan berkata
“Kenapa Neng, kok nggak lanjut SMA?”
“Neng gak ada biaya Bu” balasku.
“Kan Neng dapat beasiswa”
“Iya Bu, tapi untuk keperluan lainya Neng nggak mampu Bu”
Ibu guru tersenyum, lalu ia berkata bahwa ia mempunyai teman Ustadz yang menerima siswa yang tidak mampu untuk mondok di Pesantrenya di Yogyakarta. Kata Ibu guru, disana nanti aku akan bebas dari segala biaya seperti uang sekolah, keperluan alat tulis, seragam dan kebutuhan lainya. Tugasku disana hanyalah belajar dan mengaji. Bukan hanya itu, aku disana juga diperbolehkan bekerja untuk menambah uang jajan walaupun sebenarnya aku tak pernah dapat uang jajan. Sempat aku tak percaya dengan hal tersebut. Tapi setelah aku berbincang-bincang dengan Ibu guru dan kedua orangtuaku aku sepakat untuk menuntut ilmu disana. Dan itulah awal ceritaku berada di Pondok ini.
“Pondok Pesantren Darul Mushlihin” nama itu terlihat jelas didepan gerbang pintu masuk pondok tersebut. Dengan air mata bahagiaku aku berpamitan dengan Ibu dan Bapak. Mereka berpesan padaku bahwa aku harus menjadi anak yang rajin, bersungguh-sungguh dalam segala hal dan masih banyak pesan lainya yang tidak bisa kusebutkan satu-persatu.
“Ini lemarimu” ucap pembimbing kepadaku.
“Terimakasih” balasku.
Ibu, Bapak. Makasih telah memperbolehkan Neng untuk kembali menuntut ilmu. Neng janji akan selalu serius dan sungguh-sungguh dalam belajar. Neng akan selalu ingat pesan Ibu dan Bapak. Neng akan selalu mendo’akan kalian dalam setiap tengadah tangan Neng. Neng akan jadi Hafidzoh Buk, seperti yang Ibu minta. Neng percaya pada Allah bahwa ia akan memberikan yang terbaik buat Neng. Kasih sayang kalian tidak akan tergantikan. Dan untuk Ibu dan Bapak  jangan lupa pesan Neng untuk mendo’akan Neng agar bisa menjalani semua ini karena Allah.
Kata itu aku tulis diselembar kertas dan menempelkanya ditembok lemariku. Hari demi hari kulewati di pondok, segala hal yang kualami membuatku terus bertahan karena aku selalu ingat kenapa dan untuk apa aku disini. Dan saat ini aku sudah menduduki bangku kelas tiga SMA. Saat-saat penentuanku untuh meraih nilai semaksimal mungkin.
Aku melihat dinding lemariku, banyak sekali tempelan-tempelan kertas yang selalu kutulis ketika aku mempunyai keinginan ataupun harapan seperti cita-citaku. Dan bahkan hal kecil yang ingin kulakukan seperti keliling Jogja dengan naik TransJogja.
1.      Ingin menjadi wisudawan terbaik
2.      Menjadi Hafidzoh
3.      Menghajikan kedua orangtua
4.      Ingin mempunyai motor dan mobil
5.      Ingin bertemu presiden
6.      Ingin mendapatkan nilai rata-rata UN minimal 36.0
7.      Ingin menjadi ustadzah
8.      Ingin membantu orang yang kesusahan
9.      Membelikan Ibu kompor
1.   Mendapatkan Juara kelasa  berturut-turut
Itu adalah sedikit yang kutulis dan kutempelkan didinding lemariku. Mungkin berguna untuk penyemangatku karena diding lemari adalah tempat paling strategis dan paling sering dilihat olehku. Aku tak akan malu dengan apa yang kutulis dan kutempelkan ini, walaupun terkadang ada santriwati yang mengejek tulisan yang tertempel dilemariku ini.
“Emang kamu siapa? jangan mimpi terlalu tinggi nanti jatuh sakit” 
begitulah kadang mereka mengejekku. Terkadang mereka juga menjailiku dengan cara-cara mereka seperti menyembunyikan sepatuku, merebut barangku dan mencibiriku dengan berbagai cacian tentang barang tersebut, menggangguku dengan teriak-teriak tidak jelas ketika aku menghafal Al-quran dan yang paling membuatku kesal ialah menumpahkan susu atau jus mereka kebajuku.Walaupun aku tak mengerti sebab mereka melakukan hal itu padaku tapi aku tetap berusaha untuk berprasangka baik dan kuat karena orang sukses itu membutuhkan proses, dan orang suksepun tak harus selalu kaya. Orang sukses yang sejati itu ialah ia yang siap menerima jatuh dan bangun kehidupan. Ketika ia bermimpi setinggi langit dan jatuh, mungkin ia masih berada di awan dan akan terus naik. Dan setiap ada yang tidak menyukaiku pasti ada seseorang yang sangat peduli denganku seperti Ustadzah Nazila guru tahfidzku, Ella dan Nia sahabat yang selalu ada untukku.
Bulan demi bulan sudah terlewati dan hasil dari ujian nasionalpun akan diumumkan. Ini adalah kerja kerasku tiga tahun ini dengan meninggalkan kedua orangtuaku untuk menuntut ilmu. Aku selalu berdo’a dan percaya bahwa Allah akan memberikan yang terbaik sesuai dengan kerja kerasku. Alhamdulillah kata itu terucap indah, semua santri lulus 100% dan aku mendapatkan rata-rata tertinggi sebesar 37.0. Sebelum wisuda aku memiliki beberapa tugas untuk dilakukan yaitu yang pertama diterima di PTN dengan jalur beasiswa dan yang kedua yaitu menyetorkan hafalanku kepada Bu Nyai Hadjah isteri pengasuh pondokku. Atas izin Allah insyaallah aku bisa, aku percaya akan hal itu karena Allah pasti akan memberikan yang terbaik untuk hambanya, memberikan yang tebaik atas kerja keras hambanya dan mengijabah segala do'a dalam sabar serta ikhlasnya menghadapi perjuangan dunia
. "Audzubillahiminasyaithonirajim......" aku mengawali setoranku dengan Bu Nyai. Lembaran demi lembaran kulantunkan dengan sepenuh hati. 
"Ibu, Neng bisa" ucapku bahagia.
***
“Neng Ibu dan Bapak insyaallah datang kewisudamu besok. Ibu sudah menerima suratnya, ini kok Ibu dan Bapak dapat kursi paling depan ya Neng?”
“Alhamdulillah kalau Ibu dan Bapak bisa datang, itu kejutan untuk kalian besok”. Begitulah sedikit percakapanku dengan Ibu.
“Ibu dan Bapak besok berada didepan karena Neng akan jadi wisudawan terbaik dan Ibu akan tau kalau Neng sudah hafidzoh. Dan satu lagi, Neng berhasil masuk ke Universitas yang Neng dambakan dengan beasiswa. Semoga Ibu dan Bapak bahagia dengan prestasi yang Neng dapat. Makasih telah melahirkan Neng kedunia ini dikeluarga yang menurut Neng sangatlah luar biasa. Neng janji akan membahagiakan Ibu dan Bapak, Neng janji” batinku.
Ya Allah, terimakasih atas nikmat yang engkau berikan. Karenamu aku bisa seperti ini dan karenamu aku bisa bertahan atas segala cobaan yang engkau berikan. Semoga dihari yang bersejarah besok Neng dapat membahagiakan kedua orangtuaku dan orang-orang yang telah mempercayaiku. Makasih buk, pak telah menjadi orangtua yang sangat hebat bagiku. Terimakasih Ibu guru wali kelasku yang telah membawaku ke pondok ini. Terimakasih Ustadzah Nazil yang terus membimbingku hingga Neng Hafidzoh, terimakasih sahabat-sahabatku di Pondok karena terus mensuport dan mendukungku. Tanpa kalian Neng ndak akan jadi siapa-siapa.
Dan hari yang ditunggupun telah tiba. Terlihat Ibu dan Bapak telah duduk dikursi terdepan ditemani Ibu guru. Senyum ini mengembang bahagia, serasa air mataku ingin jatuh namun aku berusaha menahannya.
“Wisudawan terbaik. Neng Salamah putra Bapak Gunawan, Surakarta.”
Suara MC membawaku dalam gejolak hati yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Ini adalah pembuktian kerja kerasku dan kesabaranku atas ejekan-ejekan yang orang lain berikan kepadaku. Dan mereka sekarang sedang melihatku memimpin janji indah pondok pesantren tercinta. Setelah aku menuruni panggung Ibu dan Bapak memelukku erat. Tangis mereka terlihat jelas disambut dengan senyum yang mengembang indah membuatku ingin selalu berkata, aku bahagia.
“Ibu bangga padamu Neng, Ibu bangga” ucap Ibu sembari menciumku, aku kembali dalam tangis bahagia yang tak bisa kuukur dan kuungkapkan dengan kata-kata. Apalagi Bapak yang biasanya hanya diam, ia berkata,
“Neng, kamu putri satu-satunya Bapak yang sangat Bapak banggakan, selamat dan sukses untuk kedepanya ya”. Bapak tersenyum.
“Makasih Ibu, Bapak. Kalian adalah penyemangat Neng untuk terus maju. Kalian adalah malaikat Neng yang selalu mengajarkan arti pantang menyerah. Kalian yang mengajarkan pada neng tentang percaya pada Allah bahwa ia tak akan menelantarkan hambanya, bahwa ia akan selalu memeberi petunjuk dan cobaaan yang pasti bisa dilewati oleh hambanya”.
Semua ini kembali membuatku percaya. Bahwa Allah telah memberikan jalan kepada ummatnya yang memiliki kemauan untuk maju. Roda itu pasti akan berputar, ada kalanya kita dibawah dan adakalanya kita diatas. Mendung tak selamanya dingin karena matahari masih menyinarkan kehangatanya. Allah tak pernah tidur dan aku yakin Allah akan menolong setiap hamba-hambanya yang kesusahan jika ia mau berusaha seraya yakin bahwa Allah selalu membalas sekecil apapun usaha seorang hamba.

Comments

  1. ceritanya bagus, unik, menarik. bisa dilanjutkan karyanya kak.

    ReplyDelete
  2. Keren kak ceritanya. pesan ceritanya juga bisa jadi inspirasi..

    ReplyDelete
  3. Untuk usia SMA membuat cerpen dengan makna yang sangat menyentuh itu sungguh luar biasa. Tata bahasa yang bisa membuat kita membayangkan alur cerita dari kisah tersebut. Semoga cerpen ini bisa meraih yang terbaik :) Sangat inspiratif dan lanjutkan.

    ReplyDelete
  4. Siapkan tisu ketika membacanya..
    Sangat menyentuh, seolah2 kita diajak ikut merasakan dan menyaksikan kisah di atas.

    ReplyDelete
  5. Membaca cerpen ini terbawa Perasaan..

    Luar biasa, menginspirasi sekali. Semoga meraih terbaik. Aamiin

    ReplyDelete
  6. MasyaAllah. Sangaat menginsipiras dan menarik. Saya sebagai pembaca merasakan apa yg dialami tokoh. Lanjutkan!! Kutunggu karya-karya selanjutnya..

    ReplyDelete
  7. :)
    Makasih semuanya. Semoga Dedi bisa terus berkarya. Do'akan yang terbaik....

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Hati Nurani Seorang Muallaf

Hati Nurani Seorang Muallaf Oleh: Dedi Irawan Pondok Pesantren Darul Mushlihin Yogyakarta. Betapa kumencintaimu, karenamu kupaham dengan ilmu agama juga bisa menghafalkan sedikit demi sedikit ayat-ayat ilahi. Ketenangan dengan kegiatan keagamaan yang selalu membawa hati nuraniku kepada lillah. Terimakasih atas petunjukmu ya Allah dengan mempertemukanku dengan agama yang penuh rahmat ini. Aku tak tau bagaimana keadaanku sekarang jika aku masih tak mempercayai dengan adanya Tuhan. *** Hati nurani, adalah yang merasakan akan adanya ia yang selalu mengawasi kita dalam segala hal, baiknya kita maupun sebaliknya. Apa yang kita lakukan dan apa hati ini berkata. Percaya, mungkin saat awal terlahir di dunia ini kita akan selalu mengikuti apa yang kita pelajari dan kita lihat. Namun kenapa kita tak membuka mata lebih dalam bahwa tuhan itu ada. Namaku Keisya Violet, terlahir dikeluarga yang tidak percaya akan adanya tuhan terus membuatku berfikir dan bertanya pada hati nuraniku. “Siapa